test

Minggu, 27 Mei 2012

Ringkasan dari Buku Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan Di Indonesia

Ringkasan dari Buku Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan Di Indonesia
Prof. Dr. Dedi Supriadi
Pendahuluan
Pendidikan adalah sesuatu yang hak bagi setiap manusia. Tidak terkecuali pendidikan kejuruan yang merupakan salah satu bentuk pendidikan dalam arti pendidkan formal. Pendidikan kejuruan yang sejarahnya sangat panjang berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika (Etische Politiek) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebuah tulisan oleh Mr. C. Th. Van Deventer, mengungkapkan bahwa kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, khususnya di Hindia Belanda, sementara Belanda menyatakan dirinya sebagai bangsa dengan peradaban yang tinggi. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda di tanah jajahannya, Hindia Belanda, merupakan politik pengerukan keuntungan yang luar biasa. Dan dari sinilah muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang parlemen Belanda tahun 1901.
Sejak pencangan Politik Etika inilah, pemerintah Balanda berusaha mengembangkan ekonomi agar memiliki anggaran sendiri dan akhirnya dari pendidikanlah unsur yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan kejuruan adalah salah satu di dalamnya, dimana dari sekolah kejuruan akan diperoleh lulusan dengan keahlian teknik. Pada permulaannya, pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan, sekolah yang merupakan sarana yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia, lalu pertanyaannya, kenapa di Indonesia? Ya, karena pada saat itu Belanda sedang dalam masa penjajahan ke tanah Indonesia, sedang pada saat itu jika hanya dengan mengandalkan potensi yang ada maka tidak akan berkembang. Lalu dengan mengembangkan pendidikan Sekolah Pertukangan tidak hanya berusaha meningkatkan pendidikan warga negara Belanda kepentingan mereka, tetapi ikut bertanggungjawab kepada Indonesia sebagai tanah jajahannya walaupun memang hanya khusus kaum bangsawan pada saat itu.
Dari Sekolah Pertukangan, sekolah yang pertama kali dibangun di tiga kota besar di Indonesia, yaitu Surabaya, Betawi dan Semarang, kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan pertanian praktis. Kemudian dibangun  Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain. Inilah sejarah singkat mengapa ada pendidkan kejuruan dan bagaimana prosesnya, walaupun bagaimana juga pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi. Memang tidak secara singkat perkembangan yang terjadi sedemikian majunya, karena dalam masa penjajahan adalah masa sulit dan masa yang tidak menyenangkan bagi yang terjajah, sehingga sangat banyak hambatan dan rintangan yang membuat banyak instansi sekolah yang dipergunakan sebagai proses pendidikan ini menjadi kembang-kempis seiring perkembangan perekonomian saat itu.


Selayang pandang pendidikan di Indonesia
Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode utama, yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada zaman kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode atau babak yang lebih membahas spesifikasi dari pendidikan di Indonesia. Di antara pendidikan pada zaman sebelum masa kemerdekaan yaitu; (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan, (2) pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah, (3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan (Depdikbud, 1996). Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi menjadi tiga babak yaitu; (1) tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I; (2) sejak pelaksanaan Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998 dan (3) periode reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan mengalami desentralisasi yang radikal (Jalal & Supriyadi, 2001).
Satu setengah abad pendidikan kejuruan di indonesia
Pendidikan di zaman kuno sampai berakhirnya pendidikan zaman Hindia Belanda dapat dikatakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan suatu perkembangan yang relatif baru. Sebelumnya, pada zaman Mesir kuno, pelajaran kejuruan berasal dari luar sistem pendidikan dan berada di bawah asuhan apa yang disebut sistem guilde (guild system). Orang-orang yang mempunyai keterampilan membentuk suatu organisasi, sistem ini bertujuan melindungi anggotanya seperti yang sekarang dilakukan oleh organisasi buruh (labour organization). Sampai Abad Pertengahan kejuruan dan keterampilan menjadi bagian dari pendidikan.
Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10 abad sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang berbasis keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam. Namun baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul pendirian sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa Barat. Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah intelektualismenya, yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan kerja yang kemudian berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 1960-an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak lebih maju daripada Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Waktu Indonesia mampu mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun harus membangun sistem pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya dari sistem pendidikan Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi landasannya.
Sampai pada tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda, isinya mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sinilah memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan oleh ratu Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan kesepakatan untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah pertam yang didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian Pendidikan Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan Kejuruan (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900 nomor 49/2280).
Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara yang kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun), pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping Sekolah Tingkat Menengah.
Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun 1998, siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar 37 % dari seluruh populasi SLTA di Indonesia.

Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada PELITA I dan II
Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan.
Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan, dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I (1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik) dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan pusat penyelenggaraan di STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung, dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT.
Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan World Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah Belanda maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru teknik. Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973, dan Mr. Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang waktu itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre).

Pendidikan Kuantitatif Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV
Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi pendidikan nasional, yaitu terwujutnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah terutama dalam proses pendidikan.
 Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan televisi untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut kebijakan karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya yang maju menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula; sebaliknya masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang pendidikan.
Berdasarkan pengkajian Komisi PBB Untuk Pembangunan Pengetahuan dan Teknologi (United Nations Commission on Science and Technology for Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara teknologi informasi dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di semua sektor. Oleh karena itu disarankan agar semua negara angota PBB memanfaatkan potensi TIK secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat berpengetahuan. Perubahan Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan berbagai usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan mulai tahun 1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan mulai Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek seperti berikut:
•    Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan daya tampung siswa.
•    Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas lulusan melalui peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga pengajar dan peningkatan tenaga pengajar.
•    Relevansi ditingkatkan dengan mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum dengan kebutuhan industri/dunia kerja.
•    Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan tenaga kerja atau persyaratan mandiri.
•    Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan pengelolaan pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu.
Perkembangan Kualitatif Pendidikan Kejuruan hingga Pelita IV
    Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan, faktor-faktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial Budaya, faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses pelaksanaan pendidikan kejuruan.
    Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu lembaga pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama pendidikan, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode pengajaran dan evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan dalam pendidikan kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan Kurikulum 1984.
    Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam Pembaruan Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan antara lain; 1. Kurikulum dan Program Pendidikan, 2. Penyesuaian Masa Pendidikan, 3. Pembaruan melalui Kurikulum 1984, 4. Fasilitas Pendidikan, 5. Tenaga Kependidikan, 6. Manajemen dan Administrasi, 7. Kesiswaan, 8. Pendirian dan Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan, dan 9. Efisiensi Biaya Pendidikan.
    Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan mutu Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan, masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar, serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Maka, akan dibutuhkan suatu strategi pecahan masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan program-program pendidikan menengah kejuruan dengan berbagai kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas kesempatan belajar bagi setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan tenaga pengajar yang memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas pendidikan, sedang dalam asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan pendidikan dengan mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah kejuruan yang diharapkan terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, jika diperlukan dilaksanakan studi banding ke luar negeri,

Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V
Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan program telah tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan yang akan diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan, pariwisata, perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa faktor yang mempengaruhi,  seperti ; 1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia dengan sejarah pertumbuhannya, 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan warisan dari zaman sebelum Perang Dunia II, dan 3. Peta geografi indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak jumlahnya dengan ragam tingkat perkembangannya.
    Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan menjadi beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh pemerintah antara lain seperti di bawah ini ;
1.    Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan.
2.    Pembiayaan.
3.    Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri.
4.    Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5.    Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri.
6.    Usulan proyek-proyek baru.
7.    Hal-hal yang memerlukan perhatian.

Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita VI
    Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal, luwes, adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan menengah kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan operasional, seperti; 1. Masalah Konsepsi, 2. Masalah Program, 3. Masalah Operasional 4. Perlunya Pembaruan.
    Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan.

Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi.
    Berdasarkan Kurikulum 1984, bidang-bidang keahlian dalam lingkungan pendidikan menengah kejuruan meliputi enam kelompok, yaitu; 1. Kelompok Teknologi dan Industri, 2. Kelompok Pertanian dan Kehutanan, 3. Kelompok Bisnis dan Manajemen, 4. Kelompok Pariwisata, 5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat dan 6. Kelompok Seni dan Kerajinan.
    Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang keahlian Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM Pembangunan 4 tahun.
Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem Ganda di SMK
    PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan. Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG. Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya bertumpu pada upaya merangkul industri.
    Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri, Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan  Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan.

Industri Berbasis Pengetahuan dan Pembangunan Teknologi Manufaktur.
    Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain (misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja) akan layu dan mati.
    Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan global manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan paradigma tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal dengan New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu industri manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya. Langkah-langkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur menjadi bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan kemitraan. Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin dalam Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui: a. Integrated Product and Process Development (IPPD), b. Flexible and Modular Equiments and Processes, c. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE , d. didukung oleh suatu Enterprise-Wide Computing Environment, e. didukung oleh jaringan komunikasi global.


Pokok-Pokok Pikiran: Pengembangan Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020
    Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja.
Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usaha-usaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra kerjasama.

Perlunya Reposisi Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020
    Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan (trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional.
Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1.    Menata ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel dengan menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis kompetensi.
2.    Menata ulang program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK dengan menerapkan Competency Based Training (CBT).
Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah:
1.    Para pengambil keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta kaitannya dengan ketenaga-kerjaan.
2.    Bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah, reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.


Kamis, 03 Mei 2012

FOTO OBSERVASI JURUSAN TAV SMK N 2 KLATEN 2012

untuk temen-temen KKN PPL SMK N 2 KLATEN yang mau liat foto hasil observasi jurusan TAV silakan download di sini

http://www.4shared.com/rar/t538Zogy/observasi_kkn_ppl_jur_TAV.html